1

Jawaban Contoh Soal Manajemen Pajak

Makalah Ujian Akhir Semester

Manajemen Pajak

 logoUNJ

Disusun oleh:

Arista Sefreeyeni

8335123511

 

 

Konsentrasi Perpajakan

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi

Universitas Negeri Jakarta

2012


KATA PENGANTAR

 

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ujian akhir semester ini dengan tepat waktu

Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk menyempurkan nilai dari mata kuliah Manajemen Perpajakan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Nuramalia Hasanah, SE., MAk, selaku dosen dari mata kuliah tersebut karna tanpa bimbingan Ibu, penulis bukanlah apa-apa dalam memahami materi ini.

Penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi siapapun yang membacanya. Dan penulis mengharapkan saran apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan.

 

 

Jakarta, Januari 2016

Penulis


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Pajak merupakan iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukan. Pajak bagi perusahan merupakan beban yang perlu dipertimbangkan, karena pajak dapat menjadi pengurang laba. Teruntuk perusahaan yang ingin mengekspansi kekayaan perusahaannya tentu hal ini perlu diperhatikan.

Namun, yang terjadi saat ini banyak perusahaan yang menomor duakan hak dan kewajiban perpajakan serta hukum pajak. Padahal apabila perusahaan dapat mengelola dan menaati prosedur pajak badan dengan benar maka kelangsungan hidup perusahaan akan semakin baik, perusahaan akan dipandang bagus oleh pemerintah dan terhindar dari proses pengauditan yang dapat menyebabkan pajak kurang bayar yang lebih besar diakhir perhitungannya.

Wajib pajak harus memahami undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah mengenai pengenaan pajak serta segala hukumnya. Sehingga apabila terjadi ketidakwajaran atas pengenaan tarif pada pajak perusahaan wajib pajak dapat menolak dan membetulkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu pemahaman tentang perpajakan juga perlu wajib pajak kuasai, sehingga dapat diaplikasikan ilmu tersebut dalam mengelola perusahaan.

Pemilihan bentuk usaha juga perlu diperhatikan apabila wajib pajak akan meluaskan perusahaannya. Seperti yang kita tahu, pengenaan tarif pajak badan berbeda di tiap-tiap bentuk usahanya. Bentuk usaha dapet terdiri dari bentuk usaha perorangan maupun bentuk badan. Dimana bentuk perseorangan adalah bentuk badan usaha yang didirkan oleh seseorang tanpa melibatkan partner dalam kegiatan usahanya. Sedangkan, bentuk usaha badan adalah bentuk badan usaha yang didirikan oleh lebih dari satu orang yang memiliki hubungan yang sama, dengan disaksikan oleh notaris atau lembaga terkait (Muljono, 2009:3).

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus perusahaan Aladin yang merupakan perusahaan dagang dan ingin mengembangkan perusahaannya. Aladin berencana akan membuka cabang di beberapa daerah, yaitu Bandung, Makassar dan Kalimantan. Dalam melakukan rencana ini, perusahaan Aladin harus mengetahui hal-hal apa saja yang dibutuhkan agar tidak mengeluarkan biaya yang terlalu besar, entah dalam operasionalnya maupun dalam hal perpajakannya. Perusahaan Aladin harus mengetahui keuntungan dan kelebihan jika ingin membuka cabang didaerah tersebut, dan bagaimana pengenaan tarif pajaknya di tiap daerah yang berbeda. Maka dari itu, perusahaan Aladin lebih baik melakukan perencanaan pajak guna pengembangan usahanya. Hal tersebut akan penulis analisis dan bahas dalam makalah ini.

 

  • Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, meka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaruh perencanaan pajak apabila perusahaan Aladin ingin mengembangkan usahanya?
  2. Apa saja keuntungan dan kerugian yang akan didapat apabila Aladin membuka cabang di daerah-daerah tersebut?
  3. Bagaimana perlakuan atas wajib pajak berstatus cabang?

 

  • Tujuan Penulisan

Makalah ini peunulis buat dengan tujuan mengetahui solusi dari kasus yang terjadi. Dalam makalah ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung perusahaan Aladin dalam mengembangkan bisnisnya namun dengan perencanaan pajak yang tepat.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Teori pendukung

2.1.1 Definisi Pajak

Menurut Prof. Rochmat Soemitro SH, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan unuk membayar pengeluaran umum.

Unsur-Unsur pajak ;

  1. Iuran rakyat kepada negara,yang berhak memungut pajak adalah negara, iuran berupa uang bukan barang.
  2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
  3. Tanpa jasa timba atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
  4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Definisi perancis dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des Finances 1906, Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.

Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919); Pajak adalah bantuan secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand(sasaran pemajakan) karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.

Definisi Prof R.A. Seligman dalam Essays in Taxation (New York, 1925); Pajak adalah konstribusi wajib dari seseorang kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang terjadi untuk kepentingan bersama, tanpa merujuk pada manfaat khusus dianugerahkan.

Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan Asas Gotong Royong Universitas Padjadjaran bandung 1964; Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi secara umum adalah :

  1. pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemerintah
  2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan.
  3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
  4. pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
  5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment
  6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah
  7. Pajak dapat dipungut baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Pengertian pajak menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 28/2007 yang menyatakan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Sedangkan Pengertian Wajib Pajak menurut Pasal 1 ayat (2) UU No. 28/2007 menyatakan:

“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Salah satu kewajiban pajak oleh pribadi atau badan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan adalah Pajak yang diterima dari Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh Objek Pajak.

Berikut sedikit penjelasan mengenai Subjek Pajak dan Objek Pajak pada Pajak Penghasilan. Pengertian Subjek Pajak menurut Pasal 2 UU No 36/2008 adalah:

  1. orang pribadi;
  2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
  3. badan; dan
  4. bentuk usaha tetap

Pengertian Objek Pajak menurut potongan Pasal 4 ayat (1) UU No. 36/2008 adalah:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan”

2.1.2 Definisi Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak dilakukan dengan memanfaatkan pengecualian-pengecualian dan celah-celah perpajakan (loopholes) yang diperbolehkan oleh UU No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak sehingga perencanaan pajak tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran yang akan merugikan Wajib Pajak dan tidak mengarah pada penggelapan pajak.

Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Perencanaan pajak merupakan tindakan legal pengendalian transaksi terkait dengan konsekuensi potensi pajak, pajak yang dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang ditransfer ke pemerintah.

Tujuan Perencanaan Pajak adalah merekayasa agar beban pajak (Tax Burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang maka tax planning disini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun diinvestasikan kembali.

Dalam buku Mohammad Zain (2006 : 67) pengertian perencanaan pajak adalah sebagai berikut: “Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan di transfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyeludupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan di toleransi. Walaupun kedua cara tersebut kedengarannya mempunyai konotasi yang sama sebagai tindak kriminal, namun suatu hal yang jelas berbeda disini bahwa penghindaran pajak adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sedang penyeludupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan illegal yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”

Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Ukuran yang digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak, adalah:

  1. Tax saving, yaitu upaya wajib pajak mengelakkan hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk–produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.
  2. Tax avoidance, yaitu upaya wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam kerangka ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang.
  3. Tax evasion, yaitu upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak terhutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

 

Strategi dalam Perencanaan Pajak

Ada beberapa cara yang biasanya dilakukan atau dipraktekkan wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar (Sophar Lumbantoruan, 1996), yaitu:

  1. Pergeseran pajak, merupakan pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya.
  2. Kapitalisasi, merupakan pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli.
  3. Transformasi, merupakan cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.
  4. Tax Evasion
  5. Tax Avoidance

 

Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak

Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak. Ada 3 (tiga) unsur perpajakan yang memotivasi dilakukannya perencanaan pajak:

  1. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)

Kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Terdapat faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, yaitu:

  1. Pajak yang akan dipungut
  2. Siapa yang akan dijadikan subjek pajak
  3. Apa saja yang merupakan objek pajak
  4. Berapa besarnya tarif pajak
  5. Bagaimana prosedurnya
  6. Undang-undang Perpajakan (Tax Law)

Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain(Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan DIrektur Jendral Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan Undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya.

2. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)

Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak itu ikut mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis secara cermat dan memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu) dengan memanfaatkan:

  • Perbedaan tarif pajak (Tax Rates)
  • Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (Tax Base)
  • Loopholes (celah) , Shelters ( berlindung) dan

 

2.1.3 Definisi Wajib Pajak Berstatus Cabang

Dasar Hukum

Ketentuan yang mengatur hal ini adalah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Tempat kedudukan ditafsirkan sebagai semua tempat usaha wajib pajak yang dapat berbentuk kantor cabang, kantor perwakilan, kantor menejeman, pabrik, gerai, kios dan lain sebagainya. Dari paparan ayat ini dapat disimpulkan bahwa “cabang” yang didirikan di wilayah kerja kantor Ditjen pajak atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda dengan “pusat” maka wajib bagi “cabang” untuk mendaftarkan sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan wilayah tempat “cabang” didirikan.

Apabila cabang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang

Dalam Pasal 2 ayat (4) UU KUP ditegaskan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusaha kena pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan.

Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Ditjen Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Secara jabatan disini diartikan bahwa pihak Ditjen pajak dapat menetapkan secara sepihak NPWP kepada cabang. Namun konsekuensi bila diberikan NPWP secara sepihak ini adalah Ditjen Pajak akan melakukan penelitian berkaitan dengan  kewajiban pajak yang seharusnya dilakukan oleh tempat usaha cabang selama 5 (lima) tahun kebelakang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4a) UU KUP dinyatakan bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.

 

NPWP Pusat dan NPWP Cabang

Ketika orang pribadi atau badan baru mulai menjalankan usaha, mereka mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP dimana tempat tinggal/kedudukan wajib pajak/tempat usaha tersebut berada. NPWP ini sering disebut sebagai NPWP pusat. Ciri utama NPWP pusat adalah 3 digit terakhirnya 000.

Bila kemudian hari usaha tersebut berekspansi dengan membuka cabang baru, maka cabang tersebut harus ber-NPWP juga. NPWP inilah yang disebut NPWP Cabang. NPWP Cabang terdiri dari 9 digit awal NPWP sama dengan NPWP Pusat, 3 digit kode KPP tempat cabang tersebut berada, dan 3 digit terakhir merupakan kode cabang.

 

Kewajiban Perpajakan pada NPWP Cabang

Kewajiban perpajakan Wajib Pajak Cabang adalah memungut/memotong, membayar dan melaporkan Pajak berikut ini apabila terdapat transaksi yang terutang. Jenis pajak yang dimaksud adalah:

PPh Pasal 21.

Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor No.SE-23/PJ.43/2000, pemotongan PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 antara lain adalah pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, bentuk usaha tetap, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan. Pemotongan Pajak yang dilakukan oleh kantor cabang, perwakilan atau unit tempat pembayaran imbalan jasa ketenagakerjaan dimaksud dilakukan yang pada umumnya menunjuk pada tempat pelaksanaan pekerjaan, jasa dan kegiatan.

Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21/26, mengikuti Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-31/PJ/2012 tanggal 27 Desember 2012

PPh Pasal 22

Dalam hal Wajib Pajak ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, maka wajib memungut, membayarkan dan melaporkan PPh pasal 22.

PPh Pasal 23 

Berbeda dengan ketentuan berkaitan dengan PPh pasal 21 di atas, sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU PPh disebutkan “ …………dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.” Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa atas PPh pasal 23 akan terutang ditempat dilakukannya pembayaran Penghasilan.  Apabila pembayaran penghasilan dilakukan oleh kantor cabang, maka PPh pasal 23 akan dipotong , disetorkan dan dilaporkan oleh kantor cabang. Namun, sebaliknya apabila pembayaran penghasilan dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh pasal 23 akan dipotong, disetor  dan dilaporkan oleh kantor pusat.

PPN

PPN dapat terutang di kantor cabang bila terdapat penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak dan perusahaan tidak melakukan sentralisasi (pemusatan) tempat terutangnya PPN. Khusus untuk Pengusaha yang melakukan usaha dibidang Penjualan Tanah dan/atau bangunan, berlaku pemungutan, pembayaran dan pelaporan PPN-nya di lokasi usaha (cabang)/tidak berlaku sentralisasi (pemusatan) PPN. (Perdirjen pajak nomor PER-25/PJ.2013 tanggal 3 Juli 2013).

PPh Pasal 4(2)

Wajib pajak sesuai kriteria PP-46 dengan tarif 1% dari omset masing-masing cabang wajib menyetorkan PPh-nya menggunakan NPWP cabang. Termasuk juga wajib pajak yang melakukan transaksi Penjualan tanah dan/atau bangunan, atau Persewaan tanah dan/atau bangunan, pembayarannya oleh cabang dimana lokasi tanah dan/atau bangunan itu berada.

 

Kewajiban Penyampaian SPT tahunan OP/Badan

Terkait kewajiban SPT Tahunan, WP berstatus Cabang hanya berkewajiban memberikan data kepada Wajib Pajak Pusat untuk dapat dilakukan konsolidasi laporan keuangan (rekapitulasi total omset/peredaran usaha) secara keseluruhan. Kemudian kewajiban untuk menghitung, membayarkan dan melaporkan SPT Tahunan PPh baik OP maupun badan dilakukan oleh Wajib Pajak Pusat dengan NPWP Pusat.

 

Persyaratan dan prosedur Pengajuan NPWP Cabang

Badan dapat mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi kedudukan/tempat kegiatan usaha dijalankan untuk menjadi Wajib Pajak Cabang guna memperoleh NPWP Cabang. Proses pendaftaran NPWP cabang juga bisa dilakukan melalui online via internet (e-registration).

Untuk memperoleh NPWP Cabang cukup dengan mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan, dilampiri dengan :

  • Fotokopi NPWP Pusat (OP/Badan)
  • Surat Penunjukkan Cabang (Badan)
  • Fotokopi Akte Pendirian/perubahan (Badan)
  • Fotokopi KTP dan NPWP Pengurus aktif (Badan, untuk WP OP cukup fotokopi KTP)
  • Surat Keterangan Domisili Usaha dari Kelurahan (OP/Badan) Surat Kuasa bermaterai apabila dikuasakan dan fotokopi KTP penerima kuasa. (OP/Badan).

 

2.2 Analisis Kasus

Pada kasus ini tidak dijelaskan apakah jenis badan usaha dari Aladin, namun seperti yang sudah penulis jelaskan pada teori pendukung, apabila sesuatu sudah memenuhi sebagai subjek pajak dan memiliki objek pajak dapat disebut Wajib Pajak. Sehingga dalam kasus ini Aladin merupakan Wajib Pajak.

Dari definisi dalam teori pendukung yang tertera, membuktikan bahwa Perusahaan Aladin ialah termasuk Wajib Pajak yang Berstatus Cabang karena di kasus dijelaskan bahwa pendiri perusahaan ini berniat untuk membuka kantor perwakilan/cabang di kota sekitar perusahaan induk. Dalam perencanaan pajak, apabila Aladin berkeinginan untuk memperluas usahanya dengan membuka cabang, ada baiknya Aladin mengetahui atau membandingan manakah bentuk usaha yang cocok guna membantu dalam efisiensi pajak. Aladin harus mengetahui beberapa faktor pajak yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha, antara lain sebagai berikut:

  1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dan tarif pajak penghasilan wajib pajak badan termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu.
  2. Pengenaan pajak penghasilan berganda, baik atas laba bruto maupun penghasilan dari pembagian keuntungan (deviden) kepada para pemegang saham.
  3. Kesempatan untuk dapat menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan.
  4. Adanya ketentuan-ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentu usaha tertentu.
  5. Kemungkinan pengujian perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas penghasilan personal holding company dan seterusnya.
  6. Liberalisasi ketentuan-ketentuan yang mengatur fringe benefit dan/atau payment in kind.

Aladin juga dapat membandingkan dengan melihat ciri-ciri dari bentuk usaha. Karena Aladin merupakan perusahaan bidang dagang, kali ini penulis menganjurkan untuk membandingkan antara Perserikatan Komanditer (CV) dengan Perseroan Terbatas (PT).

CV PT
Ciri-Ciri ·        Sulit untuk menarik modal yang telah disetor

·        Modal umumya lebih besar dibandingkan usaha perorangan karena berasal dari beberapa orang/pihak

·        Lebih mudah mendapatkan kredit pijaman

·        Anggota aktif memiliki tanggungjawab tidak terbatas sedangkan anggota pasif sifatnya mengharapkan keuntungan.

·        Relative mudah didirikan

·        Kelangsungan hidup perusahaan CV tidak menentu/terbatas.

 

·   Kewajiban terbatas pada modal tanpa melibatkan harta pribadi

·   Modal dan ukuran perusahaan besar

·   Terdapat pemisahan yang tegas antara PT dengan pemilik

·   Dapat dipimpin oleh orang yang tidak memiliki bagian saham

·   Kepemilikan mudah berpindah tangan

·   Keuntungan usaha dikenai pajak di PT sebagai WP Badan, sedangkan keuntungan PT setelah dipotong pajak yang dibagikan kepada pemegang saham (perorangan) dalam bentuk dividen akan dikenai pajak. Dengan demikian terjadi pengenaan berganda (double taxation)

·   Sulit untuk membubarkan PT, karena merupakan badan hukum (legal)

 

 

Dapat terlihat bahwa apabila Aladin memilih PT, Kemungkinan Aladin akan menemukan pengenaan ganda dalam pajaknya karna selain dikenakan pph badan, dalam PT terdapat penganaan pajak untuk dividen. Sehingga bentuk usaha CV lebih simple dan efektif.

Selanjutnya, Aladin dapat mengajukan Persyaratan dan prosedur Pengajuan NPWP Cabang seperti yang telah ditegaskan pada pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Namun apabila perusahaan pusat dan cabang perusahaan Aladin berada dalam satu wilayah KPP yang sama, maka NPWP pun cukup milik pusat saja karena memakai PKP pusat. Dan seperti yang telah dipaparkan dalam teori pendukung diatas, perusahaan aladin dapat menjalankan kewajiban dari wajib pajak berstatus cabang.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah untuk pembangunan gedung cabang, harus diperhatikan apakah lebih baik bangun sendiri, beli lansung atau leasing. Karna pembangunan gedung baru akan dikenakan pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. Selanjutnya, perusahaan aladin juga harus memastikan tarif pajak di tiap-tiap daerah. Jangan hanya karna di satu daerah pajaknya lebih kecil dari daerah lain tapi akses operasional untuk pengiriman produknya lebih besar. Hal itu akan sia-sia.


 

BAB III

PENUTUP

 

  • Kesimpulan

Dalam mengekspansi perusahan dengan membuat beberapa cabang, lebih baik wajib pajak mengerti dahulu tentang risiko apa saja yang akan ditemui. Salah satunya dalam pengenaan pajak. Namun hal itu dapat dihindari dengan perencanaan pajak yang baik.

Perusahaan Aladin dapat memulai perencanaan pajak dengan memilih bentuk usaha badan yang untuk cabang yang akan dia buat. Selanjutnya perusahaan aladin dapat mengikuti prosedure sebagai wajib pajak berstatus cabang.

  • Saran

Penting bagi wajib pajak untuk memahami hukum pajak demi kelangsungan perusahaannya. Wajib pajak sebaiknya memeperhitungkan baik-baik faktor yang mendukung atau tidak ketika akan mendirikan atau memperluas usaha. Selain itu, perencanaan pajak dapat dijadikan alternative bagi wajib pajak untuk menangani keseimbangan pengeluaran dan laba perusahaan.


DAFTAR PUSTAKA

 

http://www.pajak.go.id/content/meneropong-siklus-hak-dan-kewajiban-wajib-pajak

http://ekstensifikasi423.blogspot.co.id/2014/10/npwp-cabang-dan-kewajiban-perpajakannya.html

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509c6fd10ac24/pendaftaran-badan-usaha-dan-kewajiban-membayar-pajak,-serta-upah-minimum

http://hukum-pajak.blogspot.co.id/2010/04/definisi-pajak.html

http://www.pbtaxand.com/consultations/354-kewajiban-perpajakan-kantor-cabang#sthash.QNtMWtdu.dpbs

http://akhwatassyari.blogspot.co.id/2012/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15156